Tuesday, December 15, 2015

Training Tanpa Learning

Mengapa Training Dibutuhkan?
Berdasarkan teori yang "standar", training itu dibutuhkan dengan alasan-alasan di bawah ini:

1. Menambah pengetahuan atau mengisi pengetahuan baru.

Dunia kerja atau dunia usaha mengalami lompatan perkembangan yang jauh lebih cepat dari lompatan yang terjadi pada dunia akademis. Banyak hal baru yang belum pernah ada bukunya di sekolah, tetapi sudah muncul dalam dunia kerja atau dunia usaha, terutama sekali yang ada hubungannya dengan teknologi atau keahlian-keahlian spesifik. Katanya, kemampuan mengantisipasi trend baru jauh lebih dibutuhkan ketimbang kemampuan akademis dalam dunia usaha.

Di samping itu juga, aplikasi pengetahuan dalam dunia kerja atau dunia usaha membutuhkan semacam gaya, model, atau tehnik yang lebih "adaptatif" terhadap keadaan spesifik atau perkembangan. Ini bisa terjadi dari mulai hal, misalnya: membuat surat atau korespondensi. Tidak sedikit perusahaan besar yang saya jumpai mendatangkan trainer khusus untuk melatih orang-orangnya dalam membuat surat bisnis. Karena alasan beradaptasi dengan trend, maka perusahaan perlu men-training orang-orangnya. Sebab kalau tidak, perusahaan akan ketinggalan kereta perubahan, menjadi terkesan kurang profesional, atau tidak efektif dalam menangani masalah-masalah baru.

2. Memperbaiki sikap mental terhadap kehidupan dalam dunia kerja.

Termasuk dalam pengertian sikap mental ini adalah: cara melihat persoalan, cara menyelesaikan pekerjaan, cara menghadapi orang, kemampuan memotivasi diri, kemampuan mengasah kreativitas di lapangan, dan lain-lain. Dengan membaiknya sikap mental orang-orang yang ada dalam sebuah organisasi kerja, maka ini bisa diharapkan akan dapat memunculkan pola kehidupan kerja yang lebih kondusif terhadap kemajuan usaha. Karena itu, training diperlukan.

3. Mengubah prilaku dan kebiasaan di tempat kerja.

Bagian inilah yang sebetulnya menjadi sasaran dari training apapun. Dengan berubahnya isi pikiran dan membaiknya sikap mental, diharapkan dapat terjadi perubahan prilaku hidup atau kebiasaan kerja yang benar-benar memberi kontribusi pada keuntungan, kelancaran, dan kemajuan organisasi.

Isi Pikiran – Sikap Mental – Kualitas Aksi

Itulah alasan umum mengapa training diadakan. Ketiga alasan di atas dalam prakteknya bisa menjadi unsur yang berdiri sendiri atau bisa berupa semacam kuantum atau juga bisa menjadi semacam rangkaian yang menyatu dalam sebuah program training.

Butuh Kesadaran Learning

Sebenarnya ada satu istilah yang bisa digunakan untuk menjawab masalah semacam itu. Istilah yang saya maksudkan adalah "Kesadaran Learning". Perlu saya tegaskan, kesadaran learning di sini bukan konsep, bukan istilah ilmiah atau bukan pendekatan teoritis. Kesadaran Learning yang saya maksudkan di sini adalah bukti ketaatan terhadap hukum-hukum Tuhan yang menyangkut perbaikan-diri.

Dengan penjelasan seperti itu, Learning bisa kita artikan sebagai serangkaian usaha yang kita lakukan untuk meraih apa yang kita inginkan dengan menggunakan sumberdaya yang sudah ada berdasarkan keadaan-kontekstual kita secara berproses. Merujuk pada arti seperti ini, ada beberapa pemikiran yang bisa kita jadikan sebagai rujukan:

Pertama, kalau kita menginginkan menjadi orang yang selalu termotivasi, maka yang harus kita lakukan adalah selalu memotivasi diri. Tidak bisa menyerahkan tanggung jawab memotivasi diri ini kepada lembaga training. Kita butuh training yang dapat memotivasi kita tetapi kita tidak bisa mengandalkannya.

Motivasi itu bisa diibaratkan seperti mandi. Tidak cukup kita hanya mandi sekali. Setelah mandi kita bersih dan ketika nanti kotor lagi, butuh mandi lagi. Sama juga seperti makan. Pengalaman Peter Davis mengatakan, "Motivasi merupakan makanan bagi otak kita. Tidak cukup kita hanya memberikan makan sekali. Otak kita membutuhkan makan secara terus menerus dan teratur."

Kedua, memotivasi diri tidak bisa dilakukan dengan hanya memotivasi diri. Untuk memotivasi diri dibutuhkan sesuatu yang dapat memotivasi kita. Karena itu, ciptakan sesuatu yang hendak anda raih agar anda termotivasi. Sesuatu yang ingin anda raih ini dalam bahasa yang lebih umum disebut tujuan (goal). Kata Charles Schwabb, jika seseorang sudah memiliki tujuan yang jelas, orang itu akan lupa makan paginya.

Kesadaran usaha dan tujuan (mencapai keinginan) adalah dua poin mendasar yang bisa dikiaskan pada hal-hal lain. Training spiritualitas tidak bisa membuat kesalehan anda meningkat. Kalaupun ya, itu hanya sementara. Untuk membuatnya menjadi langgeng, harus ada kesadaran berusaha. Di samping itu, dibutuhkan tujuan hidup yang dinamis. Sulit kita men-sholeh-kan diri dengan hanya men-sholeh-kan. Harus ada tujuan yang hendak kita capai. Dengan begitu, karakter kita terbentuk seiring dengan proses. Saya ingat ucapan Helen Keller begini:


"Karakter tidak bisa dibentuk dengan mudah dan dalam waktu yang singkat. Hanya melalui serangkaian pengalaman, penderitaan dan kesalahan, jiwa ini bisa diperkuat, visi ini bisa diperjelas, ambisi ini bisa dibangkitkan, dan prestasi ini bisa dicapai."


Ketiga, perlu disesuaikan dengan keadaan personal / keadaan-kontekstual. Ini bisa berlaku bagi individu dan organisasi. Artinya apa? Artinya, menerapkan materi-materi training dalam kehidupan kita setelah kita meninggalkan ruangan training beberap minggu atau beberapa bulan butuh semacam adaptasi dengan keadaan kita.


Saya ingin memberi contoh, misalnya saja motivasi dan tujuan. Di atas saya singgung bahwa agar kita selalu termotivasi, maka dibutuhkan tujuan hidup atau sasaran. Tapi di sini perlu dicatat bahwa tujuan atau sasaran itu tidak sembarang tujuan. Tujuan yang bisa memotivasi diri kita adalah tujuan yang benar-benar cocok atau klop dengan keadaan personal kita hari ini.


Begitu juga dengan organisasi. Menurut pengalaman kawan saya yang kebetulan menjadi konsultan di beberap perusahaan besar, bahwa kemampuan menyesuaikan dengan keadaan kontekstual, menjadi vital. Katanya, training yang mahal dari luar negeri sekalipun tidak bisa diterapkan langsung seratus persen di perusahaan domestik / lokal. Tetap saja perlu penyesuaian-penyesuaian di lapangan. Ada ungkapan yang patut direnungkan. Ungkapan itu mengatakan: "training is general but learning is personal".


Keempat, perlu ada kesadaran menaati proses. Materi yang disampaikan oleh trainer kepada kita adalah materi yang berbentuk pengetahuan, wawasan, pemikiran, dan sebangsanya. Kemampuan pengetahuan ini dalam menghasilkan prilaku secara langsung, amatlah kecil. Agar bisa menghasilkan prilaku yang kontinyu atau kebiasaan, umumnya harus melewati jalur yang bernama kesadaran berproses (transformasi diri). Kata, Dietrich Bonhoeffer,"Tindakan tidak lahir dari pemikiran tetapi lahir dari kesediaan untuk bertanggung jawab."


Kelima, menggunakan sumberdaya yang sudah ada. Yang disebut menjalani proses pembelajaran itu adalah ketika kita ingin memperbaiki diri tanpa harus menunggu datangnya keadaan ideal. Atau, menjadikan datangnya keadaan ideal sebagai syarat untuk memperbaiki diri. Saya melihat ini yang kerap menjebak kita. Kita ingin memacu diri tetapi menunggu kalau gaji naik, menunggu kalau lingkungan kerja sudah bagus, dan seterusnya.


Jika kita berpikir semacam itu, masalahnya bukan soal benar atau salah. Masalahnya adalah, kebiasaan menunggu atau menjadikan faktor eksternal sebagai syarat, akan berpotensi membuat proses pembelajaran di dalam diri kita mandek. Dan kalau sudah mandek, setan gampang menggoda kita untuk menikmati kemalasan, menuding ke pihak lain sebagai pembenar atas kemalasan kita, dan seterusnya. Be careful!
(Ubaydillah)


Demikian semoga bermanfaat


Kunjungi  hrd-practice.blogspot.co.id  untuk memperoleh informasi ketenagakerjaan dan SDM lainnya

0 comments:

Post a Comment