Wednesday, December 16, 2015

Bekerja, Apa Yang Kita Cari ?

Studi ilmiah pernah melaporkan sebuah temuan bahwa karyawan yang punya motivasi kerja hanya untuk mendapatkan gaji, ternyata memiliki perbedaan tingkat motivasi kerja dan kreativitas dibanding dengan karyawan yang punya motivasi kerja untuk meraih prestasi. Karyawan kelompok kedua ini lebih kreatif dan lebih besar kemauannya untuk maju dibanding karyawan kelompok pertama (Unlocking The Creativity Within: Executive Update: May 2000).

Mungkin ada pertanyaan, bisakah kita ngantor tanpa niat untuk mendapatkan gaji? Kalau ini kita jawab BISA, tentu saja ini diprotes banyak orang: mengada-ngada, tidak rasional, tidak alamiah dan sudah pasti bertentangan dengan kenyataan hidup. Lalu apakah yang membedakan kedua kelompok karyawan itu? Sekali lagi, ini bukan mempersoalkan apakah gaji itu penting atau tidak penting, karena jawabannya sudah pasti penting buat semua orang. Hal yang membedakan adalah apakah yang menjadi sasaran kita di kantor? Apakah sasaran kita hanya uang atau selain uang?

Hanya Uang ATAU Selain Uang
Sedikitnya ada dua sikap yang biasa kita gunakan dalam menyikapi pekerjaan kita. Pertama, sikap menjadikan uang sebagai sasaran tunggal (Hanya Uang) dan kedua, sikap menempatkan uang sebagai salah satu dari sasaran aktivitas (Selain Uang).

Hal yang harus kita sadari bersama bahwa perbedaan pilihan, akan membawa dampak mental yang berbeda. Dan, menurut cara kerja Hukum Kreasi (the law of creation) yang bekerja di alam raya ini, karena punya dampak mental yang berbeda maka berbeda pula dampaknya di tingkat nyata di kemudian hari seperti yang ditemukan hasil studi ilmiah di atas.

Ketika yang kita pilih hanya uang maka secara alamiah akan hanya uang pula yang akan kita dapatkan, tetapi ketika kita memilih "selain" uang, maka tidak hanya uang pula yang akan kita dapatkan. Sampai di tingkat kalkulasi ini mungkin masih terlalu jauh hubungannya dengan persoalan motivasi dan kreativitas. Mengapa demikian? Secara umum lebih enak mendapatkan uang ketimbang mendapatkan imbalan kerja lain selain uang. Gampangnya, kalau uang yang kita miliki, orang se-kreatif apapun bisa kita dapatkan lalu di mana letak persoalan yang bisa menjelaskan hubungan yang relevan?

Alam Pikiran; Uang

Jika uang dikatakan sebagai sasaran, berarti posisi uang adalah Akibat dari sebuah Sebab. Uang dengan kata lain adalah hasil pencapaian usaha tertentu yang kita niatkan untuk mendapatkan uang. Kalau posisinya menduduki kursi Akibat, berarti uang tidak punya kekuasan sebagai faktor penentu. Usahalah yang menjadi penentunya.

Jika usaha yang menjadi penentu maka semua usaha itu punya konsekuensi yang tidak bisa kita pilih, yaitu antara meleset dan tepat sasaran. Berdasarkan tabiat hukum alam, meskipun semua usaha itu sudah dijamin pasti mendapatkan balasan tetapi balasan itu variatif: ada yang langsung, diundur, diberikan sebagian, dan diberikan keseluruhan. Balasan yang variatif inilah yang memiliki hubungan korelatif dengan pola penyikapan yang kita pilih.

Ketika kita memilih Hanya Uang sementara balasan dari usaha kita oleh hukum alam atas rahasia tertentu diundur atau diberikan sebagiannya, maka kenyataan inilah yang membuat kita merasa tidak mendapatkan apa-apa. Hal ini akan berbeda di tingkat beban mental dengan ketika kita memilih pola penyikapan Selain Uang yang kita maknai secara optimal. Berbeda di tingkat beban mental akan berbeda pula jenis langkah yang akan kita ambil sebagai jawaban dari kenyataan demikian.

Hal lain yang perlu kita perhatikan juga adalah cara kerja pikiran. Teori ilmiah mengatakan bahwa pikiran manusia itu punya kemampuan yang lebih dahsyat dari yang paling optimal sanggup kita bayangkan. Kalau kita belum sanggup membuktikan itu setidaknya kita sudah bisa melihat bukti-bukti dari orang-orang yang sudah sanggup. Belajar dari kebiasaan mereka itu, pola penyikapan yang dipilih adalah Selain Uang.

Dari sejumlah bukti faktual yang berkembang ternyata ada yang sepertinya paradoks antara apa yang sebenarnya dan apa yang kita benarkan tentang cara kerja pikiran. Menurut yang sebenarnya pikiran ini malah lebih senang kalau diberi tugas mencapai sasaran yang banyak. Pikiran ini - menurut penjelasan pakar pendidikan - kalau dinyalakan tidak berarti bahan bakarnya akan habis tetapi malah makin bertambah.

Tetapi umumnya kita malah membenarkan yang sebaliknya, yaitu memberi sasaran pendek dan sedikit, termasuk salah satunya adalah Hanya Uang. Pikiran yang tidak kita beri tugas untuk memikirkan sasaran hidup atau kita beri "makanan" berupa tantangan dan pelajaran hidup yang sedikit sekali, terbatas, terpusat pada uang.

Andaikan pengakuan sejumlah ahli dan bukti faktual itu ternyata tidak benar, dengan menugaskan pikiran untuk mencapai sasaran yang banyak, namun hal itu bukanlah tindakan yang melanggar hukum dan tidak membuat kita rugi. Tetapi alangkah ruginya kita kalau ternyata benar. Mestinya kita punya kemampuan untuk mencapai sasaran dan tantangan kerja yang banyak tetapi gara-gara kita memilih Hanya Uang akhirnya yang lain-lain tidak kita dapatkan.

Hal lain yang bisa digunakan untuk menjelaskan kepada diri kita tentang hubungan antara sasaran dan kreativitas adalah bagian misteri dari pintu rahasia uang. Ditinjau dari konsep bisnis modern, dan kenyataan yang kita saksikan, salah satu pintu rahasia uang itu ternyata bukan pekerjaan tetapi sentuhan kreativitas yang kita gunakan untuk menjalankan pekerjaan.

Pada tingkat yang paling spesifik semua benda dan semua pekerjaan di dunia ini akan menjadi uang atau akan tidak menjadi uang bukan karena bendanya (komoditas) tetapi lebih karena, ditangani oleh siapa benda itu? Besi tua bagi kebanyakan kita hanyalah besi tua tetapi akan berbeda lagi kalau besi tua itu disentuh oleh tangan kreatif pengusaha besi. "Find need and Fill it", kata konsep bisnis.

Saya yakin bahwa semua orang punya definisi sama tentang jumlah uang yang sedikit dan jumlah uang yang banyak. Tetapi di tingkat paling riil dan pribadi, banyak dan sedikitnya jumlah uang menjadi relatif. Sedikit bagi Capres dan Cawapres bisa jadi terlalu banyak bagi orang lain. Nah, jika kita bicara jumlah pendapatan (uang) dalam wilayah riil-pribadi maka yang perlu kita audit lagi adalah, boleh jadi bukan karena pekerjaaan itu, kantor itu, atau bidang itu yang tidak sanggup membukakan sumber keuangan bagi kita tetapi jangan-jangan gara-gara pikiran kita yang kurang kreatif dengan hanya menangani sedikit tantangan dan mengarahkan pikiran pada sasaran yang terbatas.

Inipun sepertinya muncul semacam paradok lagi kalau kita rujukkan pada pengalaman para pebisnis yang sudah banyak menghasilkan uang. Henry Ford tidak meletakkan uang sebagai dewa penentu keamanan tetapi justru menjadikan pengetahuan, pengalaman dan keahlian sebagai sumber keamanan usahanya. Peter Drucker merumuskan bahwa tujuan bisnis bukan uang tetapi menciptakan pelanggan. Tentu sebuah kesimpulan yang terburu-buru dan bertentangan kalau kita tafsirkan Ford sudah tidak butuh uang lagi atau Drucker mengeluarkan nasehat konyol untuk para pebisnis

Tafsiran yang kira-kira tidak bertentangan adalah, ilmu pengetahuan, pengalaman (praktek) dan keahlian adalah kunci kreativitas mengolah peluang-peluang bisnis. Sebanyak apapun peluang tetapi kalau tiga kunci itu tidak kita miliki, peluang itu adalah peluang yang hampa. Demikian juga dengan pelanggan. Bisnis apapun ketika sudah bicara keuntungan maka sumber keuntungan itu adalah pelanggan. Sebesar apapun modal sebuah bisnis tetapi kalau tidak memiliki pelanggan ya mau tidak mau akan habis.

Proses Belajar

Keikhlasan ini sudah masuk dalam ajaran leluhur jauh sebelum kita dilahirkan. Sebagai ajaran sikap mental, memang terkadang terlalu sempit dan seringkali berlawanan ketika kita memaknai keikhlasan ini hanya sebatas pada persoalan meneriama imbalan dan tidak menerima imbalan.

Dalam ajaran sikap mental terhadap kenyataan hidup, keihklasan, adalah melakukan sesuatu dengan sasaran tak terbatas pada satu objek sasaran saja. Pakar pengetahuan seperti Abraham Maslow dan lain-lain, menamakan sasaran tak terbatas itu dengan prestasi, aktualisasi-diri, atau optimalisasi potensi yang tak mengenal batas.

Adapun persoalan imbalan dalam konteks hubungan kita dengan manusia, tentu tergantung kesepakatan yang telah kita buat. Namun, kita tetap bisa mengajarkan diri kita untuk ikhlas baik dengan imbalan atau tanpa imbalan. Sebab, pokok utamanya adalah sikap mental dalam menjalankan tanggung jawab hidup. Karena keikhlasan ini merupakan elemen hidup, maka semua orang sebetulnya punya kapasitas untuk belajar mempraktekkan ajaran keikhlasan ke tingkat yang lebih tinggi untuk membangun sikap positif terhadap kerja, selain uang semata.

Makna tak terbatas ini akan sangat berguna dalam hubungannya dengan motivasi dan kreativitas kerja, terutama ketika kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan. Siapa pun bisa mengatakan, bahwa kantor yang fair, gaji yang tinggi, lingkungan kerja yang enak, atau bisnis yang berjalan lancar itu akan membuat orang bersemangat atau hidup pikirannya. Tetapi yang perlu kita sadari, semua itu adalah temuan yang benar di atas teks, dan selama itu yang terjadi, tentu namanya bukan persoalan hidup.

Pertanyaannya, bagaimana supaya motivasi kerja kita tetap tinggi dan kreativitas kita tetap hidup, pada saat gaji di rasa kurang memadai, jarak ke kantor jauh dan macet, fasilitas kurang memadai, dsb. Di sinilah kita perlu mencari kebahagiaan yang dapat ditemukan, melalui keikhlasan diri dalam berkarya dan berkreasi. Dengan cara itu, setiap pekerjaan dan kreasi akan menjadi sebuah oase yang memberikan kesegaran, dan pertumbuhan bagi setiap orang dalam karya dan usahanya. Jadi, jika kita memusatkan pikiran pada "bagaimana mengembangkan diri dari dalam", maka kita akan terpacu dan termotivasi untuk menghadapi tantangan yang jauh lebih besar dan bernilai pada diri kita, karena hasil (uang) bukan lagi menjadi sebuah tujuan, namun "the process" penciptaan, penguasaan, penaklukkan dari setiap tantangan - itulah yang jauh lebih bermakna dan memberikan kepuasan dalam bekerja.


Disadur dari Ubaydillah AN

Semoga bermanfaat

Kunjungi  hrd-practice.blogspot.co.id  untuk memperoleh informasi ketenagakerjaan dan SDM lainnya.



1 comment:

  1. Kerja adalah ibadah..jadi kalo logikanya sebagai ibadah seperti sholat mestinya juga tidak boleh nesu, negatif thinking dan melakukan hal hal negatif dan tidak bermafaat di tempat kerja...

    ReplyDelete