Friday, December 11, 2015

Aman dan Lancar di Tempat Kerja Baru

"Ibarat peperangan, pindah kerja ke tempat baru itu sama seperti medan baru. Pengalaman dan prestasi kita di masa lalu tidak lagi menjadi segala-galanya di sini. Bahkan jika tidak dibarengi inspirasi, kreativitas, dan manajemen emosi yang baik, bukan tidak mungkin pengalaman dan prestasi masa lalu itu malah menjebak"


Antara Sumber Problem dan Sumber Solusi

Pak Hilman (45 tahun), sebut saja begitu namanya, harus menelan pengalaman mengejutkan di tempat baru. Kenapa? Begitu ia menjalankan strategi perubahan yang radikal dan revolusioner, sesuai pesanan pucuk pimpinan, ternyata malah menyeretnya berurusan untuk menghadapi konflik, friksi, dan resistensi yang tak berujung.


Akhirnya, karena tak tahan menghadapi suasana kerja yang keras seperti itu, ia memutuskan untuk kembali ke perusahaan yang lama. Beruntunglah karena track record-nya bagus di perusahaan lama, maka kehadirannya masih tetap dibutuhkan. Coba kalau track recordnya buruk? 'Kan menambah persoalan baru jadinya.


Sama juga dengan yang dilami Mega. Setelah mempertimbangkan  tawaran baru dari perusahaan lain yang lebih tinggi, ia putuskan untuk pindah. Begitu dijalani, ternyata ia harus berhadapan dengan seorang atasan yang tergolong "the difficult people", orang-orang susah yang kerap membikin orang lain susah.


Atasannya suka mengintervensi, temparemennya tinggi, kerap memainkan manuver politik antarkaryawan. Mau tidak mau, iklim kerja yang terbangun adalah iklim yang diwarnai  office politic yang tidak sehat. Akhirnya ia putuskan untuk pindah lagi ke tempat lain yang suasananya lebih membahagiakan hati walau gajinya lebih rendah sedikit.


Saya kira dua contoh di atas tak hanya terjadi pada seseorang yang namanya A atau B (specific case), melainkan sudah menjadi kasus umum yang kerap kita jumpai di sekitar kita. Meski tak menutup mata juga ada sejumlah orang yang menemukan kehidupan baru yang lebih baik di tempat yang baru.


Intinya, praktek hidup ini mengajarkan kita bahwa pindah kerja ke tempat yang baru itu memang tidak selalu menjadi sumber solusi baru. Ada juga yang malah  menjadi sumber persoalan baru yang dulu belum pernah kita hadapi. Persoalan ini ada yang datangnya dari kita, dari orang lain (individu atau kolektif) dan dari keadaan yang sudah tak terkontrol.


Problem Internal

Secara umum, ada beberapa persoalan internal yang bisa memancing datangnya problem baru di tempat yang baru apabila tidak segera kita atasi dengan keunikan kita. Dari persoalan yang umum kita jumpai dalam praktek hidup,  beberapa persoalan internal itu antara lain:


Pertama, partnership dan teamwork. Kalau kita gagal menjadi anggota tim yang baik atau gagal membentuk tim yang baik, langkah kita di tempat yang baru bisa menghadapi masalah, semacam resistensi, konflik, atau diskualifikasi. Sebabnya bisa  jadi kita terlalu memakai patokan lama atau kurang bisa menyesuaikan diri dengan beberapa patokan baru.


Kedua, motif dan ekspektasi yang tidak jelas atau terlalu normatif. Ke tempat manapun kita pindah, pasti akan ada problem yang sifatnya sangat unik. Mustahil kalau kita berharap tidak ada problem di tempat kerja. Supaya problem itu tak menghambat langkah kita, maka yang kita butuhkan adalah memperjelas  motif dan harapan.


Sahabat saya merasa di tempat yang barunya ini memang tidak lebih baik dari tempat kerjanya dulu. Bahkan  aroma office politic-nya terasa lebih kental. Tapi, karena target dan harapannya jelas, situasi baru itu tak sampai menghambat langkahnya.  Sesuai kesepakatannya dengan manajemen, di tempat yang baru ini dia diberi fasilitas untuk melanjutkan S3.


Ketiga, politik pergaulan di kantor (office politic). Menurut definisinya Andrew Durbin (1990), yang disebut office politic itu adalah metode yang halus dan informal yang digunakan orang-orang di kantor untuk merebut power atau keuntungan. Office politic di kantor sudah jamak dilakukan orang secara   pribadi atau kelompok.


Namanya juga politik. Tidak seluruh cara / metode yang digunakan itu bagus dan beradab. Adakalanya menggunakan teknik / manuver yang merugikan orang lain atau bahkan jahat. Masalah akan muncul apabila kita terlalu cepat mengeluarkan pernyataan sikap sebelum kita menguasai medan. Misalnya kita langsung berpihak ke geng tertentu atau membuat office politic sendiri yang tidak lazim di tempat itu.


Keempat, penguasaan medan, skill, dan standar kinerja. Tuhan sudah menegaskan bahwa tidak ada manusia yang mampu menguasai sampai final realitasnya sendiri. Bahkan semakin kita dalami realitas hidup kita, semakin memunculkan sensasi baru: pemahaman baru dan pertanyaan baru.


Ini bisa kita jadikan pijakan bahwa yang kita butuhkan di tempat baru adalah berkonsentrasi menguasai medan, skill dan standar kinerja yang ditetapkan. Jangan sampai kita meng-copy seluruh pengalaman dan pengetahuan yang kita miliki dari perusahaan lain. Ini bisa membuat kita butuh waktu lama untuk menguasai.


Kelima, kematangan emosi. Kematangan emosi tidak identik dengan usia, pengalaman, pengetahuan, dan keahlian. Kematangan sangat terkait dengan penghayatan atas pengalaman dan semua itu. Standar kematangan emosi adalah ketika seseorang mampu mendamaikan konflik, baik yang internal atau eksternal, menjadi pilihan-pilihan hidup yang membawa kebaikan, baik diri sendiri dan orang lain, dalam jangka pendek dan jangka panjang.


Di tempat yang baru, biasanya ada banyak tantangan yang ingin menguji kematangan emosi kita. Ini karena belum terjadi kohesi hubungan yang diasaskan pada "rasa ke-kita-an". Jika kita tidak aware terhadap kematangan emosi itu, bukan tidak mungkin keputusan yang kita keluarkan adalah keputusan yang semata untuk jangka pendek, misalnya ngambek, mengembalikan fasilitas perusahaan, membubarkan rencana baru, atau resign.


Jadikan Aset

Beberapa masalah di atas masih belum ditambah lagi dengan adanya masalah dari luar, entah itu dari orang (individu dan kolektif) atau dari keadaan yang sudah tak terkontrol. Masalah yang datangnya dari luar itu bisa lebih banyak dan bisa lebih sedikit.


Terlepas masalah itu banyak atau sedikit, sebetulnya ada rumus umum yang bisa kita pedomani. Masalah itu memang tetap masalah, tetapi kita diberi pilihan: apakah kita akan menjadikannya sebagai aset atau hanya sebatas beban. Jika kita mau menjadikannya aset, maka masalah itu akan menjadi jembatan yang menghubungkan antara the real self dan the ideal self.


Masalah itulah yang sejatinya akan memberikan ilmu dan keahlian buat kita untuk mencapai apa yang kita inginkan. Setiap orang sebetulnya sudah memiliki cara sendiri-sendiri untuk bisa mengasetkan masalah itu. Tapi bila kita belum menemukan cara yang pas buat kita, kita bisa memedomani cara di bawah ini:


Pertama, refleksi (reflection). Refleksi di sini adalah menciptakan pemahaman baru (new understanding) terhadap realitas baru, lokasi baru, atau terhadap masalah yang ada. Jika selama ini kita selalu melihat masalah sebagai beban, coba sekali ini kita melihatnya sebagai aset, melihatnya dengan cara berpikir yang baru. Ini agar kita sampai pada pemahaman baru.


Kedua, penggalian peluang dan optimalisasi potensi (leveraging). Dari masalah yang kita hadapi itu, kita bisa berpikir mengenai peluang yang bisa kita raih dengan mengoptimalkan potensi yang kita miliki. Peluang adalah kesempatan untuk maju, untuk menjadi lebih baik, atau untuk menjadi lebih besar dari diri kita sebelumnya.


Tentu kita perlu tetap membedakan antara leveraging dengan pemanfaatan kesempatan dalam kesempitan yang terkesan licik itu.  Kalau melihat definisinya Daniel Goleman, leveraging adalah cermin dari kebesaran jiwa yang hanya bisa dilakukan oleh orang dengan kematangan emosi yang bagus (EQ tinggi).


Dalam agama, kita diajarkan untuk bersyukur dengan hati, termasuk saat menghadapi kenyataan buruk. Maksudnya seperti apa? Maksudnya, kita tetap berjiwa besar saat menghadapi kenyataan buruk, yakin akan ada pelajaran positif, dan berpikir bahwa seandainya tanpa pertolongan Tuhan atas kita, mungkin kenyataan bisa lebih buruk dari yang kita hadapi. Tujuannya adalah agar hidup kita tetap positif saat menghadapi kenyataan negatif.


Ketiga, memformulasikan rumus di batin tentang pola-pola pembelajaran yang kita lakukan (framing). Setelah menjalankan proses refleksi dan leveraging, pasti kita akan menemukan pola-pola atau teknik rahasia tentang bagaimana menghadapi masalah dan bagaimana mewujudkan tujuan. Seperti kata musikus legendaris, teknik memetik gitar yang paling bagus itu adanya bukan di buku, tetapi dari yang kita temukan sendiri. Buku kita gunakan sebagai referensi.    


Walau ketiga pedoman di atas kelihatannya simpel, tapi pasti tidak mudah menjalankannya. Hanya, dunia ini tidak bertanya mudah atau sulit. Sulit atau mudah, pilihannya hanya dua: apakah kita mau menjadikan masalah itu sebagai aset atau hanya menjadikannya sebagai beban.


Beberapa Tip Tambahan

Di bawah ini ada sejumlah tip yang mudah-mudahan bisa membantu kita melancarkan langkah di tempat kerja baru:

  1. Hilangkan / perkecil jarak psikologis antara kita dengan mereka supaya muncul "rasa-ke-kita-an". Misalnya dengan bercakap-cakap, self-disclosure, membuka diri untuk gotong royong, ikut dalam acara, berkunjung ke rumah, dll. Intinya, bikin hubungan ke yang lebih agak personal supaya hangat, bukan semata profesional yang kering.
  2. Tidak semua orang mau kita ajak membangun rasa-ke-kita-an itu. Agar pabrik pikiran kita tidak mengeluarkan sampah perasaan negatif, fokuskan pada yang mau saja, tanpa harus menempatkan orang yang tidak mau itu sebagai ancaman.
  3. Hindari hal-hal ekstrim (menyolok) yang dapat memancing persepsi yang salah atau yang dapat memancing pertanyaan orang, termasuk dalam berpakaian atau berperilaku.
  4. Hindari terlibat  geng politik orang-orang lama secara subyektif dan berlebihan. Lihat dan kuasai dulu medannya barulah menentukan sikap yang sewajarnya.
  5. Lebih berkonsentrasi pada upaya menunjukkan kinerja ketimbang banyak  mengklaim prestasi kita di perusahaan lain.
  6. Lebih banyak bertanya dan mendengarkan, namun dengan cara-cara yang tidak menjengkelkan atau terlalu sopan. Sopan itu baik, tetapi terlalu sopan malah tidak baik buat pergaulan.
  7. Untuk sementara waktu, lebih baik menggunakan bahasa-bahasa yang memuliakan, ketimbang bahasa yang merendahkan, terkesan arogan atau hanya untuk menciptakan kesan akrab
(Ubaydillah)




Semoga bermanfaat

Kunjungi  hrd-practice.blogspot.co.id  untuk memperoleh informasi Ketenagakerjaan dan SDM lainnya.

0 comments:

Post a Comment