Tuesday, December 15, 2015

Kutu Loncat

Julukan kutu loncat ini sering kita alamatkan kepada orang yang kerapkali pindah dan berpindah-pindah tempat kerja atau bidang pekerjaan. Dan, kita semua memahami bahwa menjadi kutu loncat merupakan ekspresi dari sebuah pilihan.

Dari praktek hidup sehari-hari kita temukan orang-orang yang merasa diuntungkan dengan pernah menjadi kutu loncat. Karena sering berpindah-pindah tempat kerja atau bidang pekerjaan, mereka memiliki wawasan "tambahan" tentang isu-isu penting pekerjaan, pengetahuan tentang perilaku seseorang (human behavior), dan pemahaman tentang prosedur penyelesaian pekerjaan (ahli). Memang, pengetahuan ini menambahkan kuantitas tertentu dalam diri si kutu loncat. "Untunglah saya dulu bekerja di sana bertemu dengan orang bermacam-macam dan pernah menghadapi berbagai persoalan sehingga membantu saya menghadapi dan menguasai pekerjaan saya yang sekarang ini".

Tetapi di sisi lain, praktek hidup semacam ini juga menampilkan bukti di mana tak sedikit orang yang karena pernah menjadi kutu loncat akhirnya keberadaan karirnya tak jelas, meski sudah kemana-mana. Pindah tempat kerja kemana-mana tetapi judul akhirnya sama saja. Pindah bidang pekerjaan apapun tetapi tak memberikan keahlian tertentu yang mencetak kualitas tertentu. Apa yang membedakan si kutu loncat kelompok pertama dan si kutu loncat kelompok kedua?

Pembeda Utama

Menurut pendapat Charles Millhuf, ada tiga hal mendasar yang mempengaruhi perbedaan antara jenis kutu loncat yang satu dengan yang lain, yaitu:

1. Disiplin hidup yang kita pilih untuk kita taati.

Disiplin tertentu yang kita taati, punya hubungan korelatif dengan kebiasaan dan karakter kita dalam menghadapi hidup. Menurut Aristotle, kebiasaan dan karakter adalah dua hal yang mencetak masa depan kita. "Isi pikiran melahirkan tindakan. Tindakan melahirkan kebiasaan. Kebiasaan melahirkan karakter. Karakter melahirkan "nasib". Pendapat ini bisa kita jadikan dalil bahwa menjadi atau tidak menjadi kutu loncat akan sama saja pengaruhnya terhadap nasib karir kita, sejauh kita bisa berdisiplin terhadap hidup yang kita pilih.

Banyak kenyataan yang dapat kita lihat, bahwa pindahnya tempat atau bidang pekerjaan yang tidak diimbangi dengan pindahnya kebiasaan yang kita jalani, atau tidak diiringi dengan berubahnya pola pikir dan sikap, maka perpindahan itu hanya menghasilkan perubahan fisik yang sama sekali tidak berpengaruh pada peningkatan kualitas diri. Sehari dua hari kita merasa telah terlahir kembali dengan perpindahan yang baru kita jalankan, tetapi setelah itu kita menghadapi persoalan yang akan kita selesaikan dengan cara lama yang sama dan lama kelaman sama juga menghasilkan situasi yang sama.

Boleh jadi angka gaji bulanan kita berpindah, tetapi perpindahan angka yang tidak diimbangi dengan kebiasaan dan karakter serta keahlian kerja, cepat sekali angka itu dibikin tak berdaya oleh perpindahan regulasi pemerintah terhadap naiknya harga barang / jasa yang kita gunakan. Judul akhirnya memang tak jauh berbeda. Menurut pengalaman banyak orang yang sudah berprestasi di pekerjaannya bisa kita simpulkan bahwa jumlah gaji yang paling kokoh menghadapi naiknya kebutuhan adalah gaji yang kita terima sebagai balasan dari keahlian yang kita milikil (How good are you doing!!!)

2. Lingkungan yang kita pilih

Tentang hubungan antara "nasib" dan model lingkungan (orang) nampaknya tak jauh berbeda antara kesimpulan Charles Millhuf dan Jim Rohn yang pernah mengatakan bahwa kalau dalam lima tahun ke depan kita masih tetap menemui orang yang bermodel sama atau membaca buku yang isinya sama, maka nasib kita akan sama.

Tanpa harus kita kasta-kastakan sendiri sebetulnya hukum alam ini sudah membuat semacam pengkastaan berdasarkan kualitas kelompok manusia yang oleh para pakar ilmu pengetahuan disebut Hukum Asosiasi (The Law of Association) yang kira-kira bisa dijabarkan bahwa kita secara naluri akan berkelompok dengan orang yang sejenis atau setara kualitasnya dengan kita.

"Lingkungan memang tidak bisa mencetak diri kita, tetapi lingkungan yang kita pilih mencerimankan siapa diri kita". Pendapat demikian sudah klop dengan petuah leluhur yang berwasiat: "Jika kau ingin mengetahui profil seseorang, tak usah kau tanya langsung kepada yang bersangkutan tetapi lihatlah lingkungan seperti yang dia masuki."

Kaitan semua ini dengan kutu loncat bisa kita ambil pelajaran bahwa pada bagian yang paling menentukan, perpindahan tempat / bidang pekerjaan tidak banyak menolong pindahnya nasib karir kita ketika kita berada di dalam lingkaran orang-orang yang modelnya sama saja dengan orang-orang yang kita jumpai di masa lalu. Model orang yang kita jumpai di tempat kerja itu meskipun jenis kuantitasnya beragam tetapi level kualitasnya bisa kita petakan menjadi antara orang yang punya kemauan keras untuk maju dari lokasi kerjanya dan orang yang menolak kemauan keras untuk maju (keras kepala).

Kalau kepindahan kita, membawa konsekuensi berubahnya kualitas lingkungan kita (secara mentalitas, kualitas diri dan professionalisme serta kematangan - bukan kelompok "borjouis"), maka perpindahan itu dapat mempengaruhi nasib karir kita. Dan demikian pula sebaliknya; bahkan kita dengan mudah tertular hal-hal negatif yang ada di lingkungan yang negatif. Hal yang negatif tak perlu di-aktivasi sudah aktif sendiri, tetapi untuk hal yang positif, selain butuh aktivasi, pun juga tak cukup hanya berusaha sekali-sekali.

3. Model paradigma yang kita pilih untuk kita pertahankan.

Pemahaman, nilai, paradigma berpikir atau filsafat hidup tertentu yang kita anut adalah prinsip yang kita ikuti dalam menjalani kehidupan. Pemahaman kita tentang diri kita, orang lain, dan pekerjaan (keadaan) atau tentang apa saja, akan menjadi materi utama yang akan kita libatkan dalam keputusan atau pilihan hidup kita dari mulai apa yang kita pikirkan sampai ke tingkat apa yang kita lakukan terhadap apa yang menimpa kita.

"Nasibmu tidak berubah oleh keadaanmu tetapi berubah oleh pilihanmu" begitu kata Jim Rohn. "Nasib anda tidak ditentukan oleh keadaan yang melingkupi anda tetapi oleh pemahaman anda tentang keadaan", begitu kata Zig Ziglar. "Nasib anda tidak ditentukan oleh apa yang terjadi pada diri anda (What ON) tetapi oleh apa yang terjadi di dalam diri anda (what IN)", begitu kesimpulan John C. Maxwell.

Kalau dikaji menurut pendapat Ralph Marston, paradigma hidup yang dibawa orang ke tempat kerja itu bisa digolongkan menjadi tiga. Pertama adalah paradigma mengambil (to take). "Apa yang bisa saya ambil dari kantor?." Kedua adalah paradigma mendapatkan (to get). "Apa yang akan diberikan oleh kantor kepada saya?" Ketiga adalah paradigma memberi (to give): "Apa yang bisa saya berikan kepada kantor saya?"

Paradigma ini merupakan muatan diri kita dan tidak ada hubungannya dengan jabatan, kekayaan atau kekuasaan yang kita miliki, kecuali kita memilih untuk menghubung-hubungkannya sendiri. Siapa pun kita tetap punya pilihan untuk menentukan salah satu dari ketiga paradigma itu. Mengapa? Contohnya adalah paradigma memberi. Meskipun kita tidak bisa memberikan semua yang diminta orang lain / instansi tetapi kita tetap memiliki sesuatu yang bisa kita berikan dari yang paling gratis misalnya saja senyuman sampai ke tingkat pengorbanan yang mahal nilainya. Sekali lagi, ini persoalan apa yang kita pilih di kepala kita.

Bicara tentang paradima ini dan hubungannya dengan nasib karir kita, kalau dirujukkan pada sejarah dunia dan pengalaman sejumlah orang berprestasi, nampaknya ada kesamaan. Dunia ini hanya memberikan piala paling banyak kepada orang yang memberikan terlepas dari apapun yang secara fisik diberikan.

Kalau kita kembalikan ke ajaran agama, paradigma ini mencetak niat. Perbedaan niat akan menentukan perbedaan "spirit" suatu tindakan. Perbedaan spirit akan menentukan perbedaan balasan tindakan di tingkat "rasa" dan "kenyataan" meskipun (biasanya) balasan di tingkat kenyataan itu seringkali "disembunyikan" sekaligus diletakkan di bagian akhir dari episode aktivitas sesuai dengan cara kerja Hukum Pembalasan Akhir (The law of farmer).

Proses Belajar

Pasti tidak semua kebiasaan masa lalu kita itu baik dan pasti tidak semuanya buruk. Pasti juga, tidak semua orang yang selama ini kita ajak bergaul itu mendukung meskipun tidak seluruhnya melawan. Dan pasti juga tidak semua paradigma hidup yang kita bawa selama ini keliru, meskipun tidak seluruhnya benar. Selalu ada dua sisi yang kontras yang menunggu sentuhan kreatif kita agar perjalanan karir kita bisa indah.

Ada banyak acuan yang sudah dirumuskan oleh para ahli yang bisa kita pilih sebagai jurus pembelajaran memaknai ke-kutu-loncat-an kita supaya lebih bermakna. Salah satu dari sekian jurus itu adalah:

1. Menentukan model kebiasaan, model orang dan model paradigma lama yang masih bisa dipertahankan (what to hold on). Untuk mengetahui ini kita membutuhkan perbandingan yang alatnya bisa kita ambil dari pekerjaan lama dan pekerjaan baru.

2. Menentukan kebiasaan, pola pikir, model orang dan model paradigma lama yang sudah tak layak lagi kita abadikan (what to eliminate). Menurut praktek hidup dan menurut pendapat Seth Godin ternyata: "Tantangan bagi setiap orang adalah bagaimana membuang ide lama yang menghalangi realisasi ide baru bukan bagaimana menggagas ide baru"

3. Menentukan program pembelajaran (what to learn). Pembelajaran adalah proses yang kita lakukan untuk mengubah ketidakmampuan masa lalu menjadi bentuk kemampuan baru. Kemampuan di sini bisa berbentuk kuantitas atau kualitas dari kebiasaan, orang yang kita ajak bergaul dan paradigma dalam arti apa yang kita lakukan untuk mengabadikan warisan lama yang masih bagus dan apa yang kita lakukan untuk mengadopsi hal baru yang lebih bagus.

4. Menentukan metode pembelajaran (what to suit) yang cocok dengan keberadaan dan kemampuan kita. Apa yang sering membuat kita gagal dalam melakukan perubahan ke arah yang lebih baik, adalah adanya faktor belumnya kita menemukan metode yang cocok dengan diri kita.

5. Melakukan koreksi konstruktif (membangun). Apa perbedaan antara koreksi konstruktif dan koreksi destruktif? Salah satu yang membedakan adalah pada saat apa koreksi itu kita lakukan. Koreksi yang kita lakukan pada saat kita sedang MENJALANKAN program pembelajaran adalah koreksi konstruktif: akurat apa yang salah dan apa yang perlu dibetulkan. Koreksi yang kita lakukan pada saat kita hanya MENGKHAYALKAN perbaikan, biasanya cenderung destruktif: selain tidak akurat juga sering membikin kita takut dan membatasi diri kita.

Jurus lain yang juga masih mungkin kita pilih adalah menggunakan formula Sinergisasi, dan Akumulasi untuk meraih keahlian menangani pekerjaan (kompetensi). Sinergisasi adalah menemukan bentuk keunggulan ketiga dari dua perbedaan, yang lama dan yang baru. Jadi, tidak ada hubungan yang terputus sama sekali antara kenyataan masa lalu dengan masa kini (misal, dulu kita bekerja di bidang pariwisata dengan sekarang kita bekerja di bidang pendidikan). Pasti ada bagian yang saling mendukung meskipun juga ada bagian yang secara "kelihatannya" kontras.

Akumulasi adalah proses yang kita jalankan untuk mengumpulkan supaya menjadi terkumpul untuk kita gunakan seperti layaknya kita menabung uang di bank. Memang, tidak berarti orang yang sering pengalaman ber-kutu loncat itu ahli di pekerjaannya! Tetapi pemahaman yang tepat adalah, semua orang ahli dipastikan memiliki pengalaman, pengetahuan dan pembelajaran yang secara akumulatif lebih banyak dibanding orang yang tidak/belum ahli.


Disadur dari Ubaydillah

Semoga bermanfaat

Kunjungi  hrd-practice.blogspot.co.id  untuk memperoleh informasi ketenagakerjaan dan SDM lainnya.



0 comments:

Post a Comment