Saturday, December 12, 2015

Apakah Karir Anda Sudah "Mentok" ?

"Mentok" Temporer

Kalau kita dengar, banyak orang yang merasa kariernya sudah mentok. Setelah berkarier selama tujuh tahun di sebuah perusahaan perorangan, Roni merasa kariernya sudah mentok karena semua jabatan struktural di perusahaan itu sudah dilalui. Akhirnya, dia memutuskan untuk merintis usaha sendiri bersama kawan-kawan.

Roni bukan satu-satunya orang yang merasa kariernya sudah mentok. Banyak orang yang merasa kariernya sudah mentok, namun sayangnya banyak yang tidak berhasil mengungkap apa yang menyebabkannya lalu solusi yang bisa dilakukannya. Padahal, mengetahui sebab dan merencanakan solusi itu lebih penting dari pada sekedar merasakan karier kita sudah mentok.

Dari praktek yang kerap muncul di lapangan,  kita bisa membedakan antara  karier yang sudah mentok dengan sifatnya yang temporer dan karier yang mentok dengan sifatnya yang permanen atau akan permanen. Jika kita merasa karier kita sudah mentok, tapi yang menjadi sebab-sebabnya berasal dari luar diri kita, misalnya saja hambatan struktural, kultural, atau sentimen personal, bisa dikatakan itu temporer.

Kenapa? Sejauh kita tetap memilih untuk menjadi orang yang dinamis dan progresif, maka tidak akan ada kekuatan personal, struktural, atau kultural yang dapat menghalangi kita, kecuali kita sudah meninggal. Kalau kita tidak menemuka celah di tempat yang sekarang, pasti kita akan menemukannya di tempat lain. Tentu saja ada kesulitan dengan tingkat yang berbeda-beda.

Jika kita sanggup meyakini kepastian seperti ini, mentok-nya karier kita pasti hanya temporer. Cuma, kata beberapa pengamat karier, banyak orang yang gagal meyakini kepastian demikian karena dihambat oleh apa yang disebut "I-wish-but-thinking-model". Kita merasa karier kita di tempat yang sekarang ini menghadapi hambatan yang tidak sanggup kita tangani dan sudah terlalu sering berpikir untuk mencari tempat lain, namun itu tidak kita lakukan karena takut.

Akhirnya, hari-hari kita diisi oleh ketidakpuasan dan ketakutan. Sayang 'kan? Bahkan jika perasaan seperti itu sudah sampai pada stadium yang sangat menganggu, mungkin kita perlu berpikir jangan-jangan yang membikin karier kita mentok bukan faktor eksternal, tetapi kita sendiri.

"Orang yang menolak menciptakan masa depan untuk dirinya, dia harus rela menerima masa depan apa adanya." (Petuah Bijak)

"Mentok" Permanen

Dulu, kita sudah pernah membahas apa itu kelumpuhan karier (career paralysis). Terminologi ini pas untuk menjelaskan karier yang mentok dengan sifat yang permanen atau akan permanen. Karier kita akan lumpuh apabila optimisme kita turun drastis, langkah kita terasa seperti sudah masuk perangkap, atau wilayah kehidupan di luar karier kita sudah kena imbas negatif.

Hasil kerja sejumlah peneliti karier (The 3 stages of the Career Depression Syndrome, Friedland & Marcus) mencatat beberapa tanda kelumpuhan karier yang bisa kita pedomani, seperti di bawah ini:
  1. Kita sudah benar-benar merasa tidak bahagia dengan pekerjaan atau profesi yang ada
  2. Kita merasakan adanya depresi berat meski sudah menduduki berbagai jabatan, posisi atau sudah pindah kemana-mana
  3. Kita punya kecenderungan untuk melakukan kritik-diri pada tingkat yang sudah tidak wajar atau tidak normal.
  4. Kita memiliki motivasi dan semangat berkompetisi yang sangat rendah (sudah tidak bergairah lagi)
  5. Kita memiliki kepercayaan diri yang sangat rendah
  6. Kita tidak memiliki tujuan yang jelas dan jelas-jelas kita perjuangkan (ngelantur)
Ternyata, menurut hasil penelitian itu, yang menjadi pemicu kenapa karier seseorang mentok atau lumpuh adalah kegagalan me-manajemen-i ketidakpuasan. Misalnya kita tidak puas dengan perlakuan manajemen saat ini karena yang diangkat menduduki jabatan penting adalah "geng tertentu". Tapi, salahnya kita, ketidakpuasan itu kita gunakan untuk bereaksi negatif, salah satunya adalah memupuk rasa malas-malasan atau enggan berprestasi (demotivasi). Ada juga yang akhirnya pindah kerja dengan harapan setinggi langit bahwa di tempat yang baru dijamin lebih puas.

Jika energi negatif itu menggunung di batin kita, maka nafas langkah dan aura karier kita akan ikut-ikutan negatif. Dengan begitu, respon dunia di luar kita pun menjadi negatif. Kalau kita kehilangan motivasi untuk berprestasi sebagai reaksi atas ketidakpuasan, dinamika karier kita akan mentok secara permanen, kecuali kita mengubahnya.

Lain soal kalau ketidakpuasan itu kita kelola dengan baik untuk memunculkan dinimika positif. Misalnya kita tidak puas tetapi rasa itu kita gunakan sebagai dorongan untuk membenahi atau mempersiapkan diri dengan meningkatkan skill. Pasti ujungnya kemajuan. Ketidakpuasan akan menjadi sumber perubahan asalkan dikelola dengan bagus.

"Gunakan ketidakpuasanmu untuk menghidupkan jiwamu, bukan untuk merusaknya."

Up Is Not The Only way

Banyak orang yang berkesimpulan kariernya mentok hanya karena  jabatannya tidak dinaikkan. Padahal, kenaikan jabatan bukan indikator tunggal. Lebih-lebih kalau kita bekerja di perusahaan perorangan yang tidak terlalu mementingkan arti jabatan struktural. Saya dulu pernah dibolehkan menulis jabatan apa saja asalkan bukan pemilik atau dirut dan asalkan perusahaan itu berjalan lancar.

Ternyata ini juga hampir sudah terjadi di perusahaan-perusahaan besar di dunia. Menurut hasil studi Roffey Park, sebuah lembaga riset dan pengembangan karier yang berbasiskan di Inggris, sekarang ini struktur perusahaan tidak lagi mengacu pada pola lama yang linier, flat, berjenjang hirarkis, dan stabil.   

Dengan kata lain, jika patokan kita hanya jabatan, bisa-bisa ini menghambat dinamika jiwa kita atau sebentar lagi akan berhadapan dengan arus realitas. Selain itu, dan ini yang paling berbahaya, kita telah menggadaikan keamanan kita pada kekuatan eksternal dengan porsi mayoritas (job security). Ini akan membuat kita rentan dengan berbagai kegelisahan.

Bukan hanya itu, tahun 1998, saya berkenalan dengan seseorang yang dulunya pernah menduduki jabatan struktural penting di maskapai penerbangan nasional. Ketika maskapai itu dibekukan pemerintah, orang ini memilih bersembunyi di kampung. Saya tanya kenapa tidak menjadi konsultan, dosen, atau direktur di perusahaan lain?

Ternyata bapak ini menjawab, "inginnya sih begitu". Cuma, karena sudah merasa senior, rasa malunya muncul kalau harus menulis surat lamaran lagi. "Dik, orang-orang yang pegang maskapai domestik di sini, dulu itu bawahan saya. Hanya sedikit yang teman saya. Masak nanti saya dites mantan bawahan?", ungkapnya begitu.

Secara implisit, pesan yang saya tangkap adalah, jangan pernah memberikan porsi mayoritas pada kekuatan eksternal, dalam hal ini adalah perusahaan, untuk mengontrol keamanan karier kita. Yang mayoritas harus tetap ada di genggaman kita. Kenapa? Ini agar kita terdorong  untuk mengembangkan diri, meningkatkan skill, memperluas jaringan, mengubah pola pikir, dan seterusnya. Pengembangan diri akan menguntungkan perusahaan dan diri kita.

Nah, agar kita tidak lagi terpaku pada jabatan struktural, lalu apa referensi atau indikator yang perlu kita pedomani? Yang paling kokoh adalah ketika kita menjadikan kapasitas berperan sebagai indikator atau referensi. Namanya berperan itu bisa ke atas, bisa ke bawah, bisa ke samping, atau bisa kemana-mana. Semakin bagus kapasitas kita dalam berperan di tempat kerja, pasti akan semakin kuat benteng keamanan kita. Inilah yang disebut paradigma "career security" - keamanan jiwa yang berbasiskan pengembangan diri.

"Nasib baik lebih sering mendatangi orang yang tidak mengandalkan nasib baik."

Kapasitas Berperan

Apa yang bisa kita lakukan untuk meningkatkan kapasitas kita dalam berperan? Tentu ada banyak acuan yang bisa kita pedomani. Satu dari sekian acuan itu antara lain sebagai berikut:

Pertama, meningkatkan kompetensi. Kompetensi di sini adalah hasil nyata dari pikiran atau tindakan kita, entah dalam bentuk produktivitas, kualitas kerja atau solusi. Agar kita terdorong untuk meningkatkan kompetensi, kita perlu menciptakan "conditioning" di dalam diri. Jika kita menerima tugas atau peranan yang tidak kita inginkan, itu perlu kita lihat sebagai peluang untuk belajar.

Sebaliknya, jika kita diberi peran itu--tu saja (rutinitas), kita perlu menciptakan tantangan baru. Yang perlu kita hindari adalah, jangan sampai kita membiarkan rasa nyaman dengan apa yang ada. Lebih-lebih jika tugas itu tidak butuh skill cognitive yang tinggi, misalnya input data, menyetempel berkas, issued ticket, dan semisalnya. Pembiaran seperti ini sangat berpotensi melumpuhkan kapasitas kita dalam berperan di tempat kerja.

Kedua, rumusan strategi pengembangan diri. Ini terkait dengan bagaimana kemampuan kita dalam mengolah informasi dan menggunakan berbagai sumberdaya yang sudah ada di sekeliling kita, yang sebagian besarnya gratis atau boleh digunakan. Satu-satunya rahasia untuk meningkatkan kemampuan ini adalah ketegasan kita dalam melakukan perubahan diri ke arah yang lebih baik.

Anda bisa membuktikan langsung sekarang juga dan dari tempat Anda saat ini. Jika Anda sudah tegas dan jelas dalam mengubah diri Anda ke arah yang lebih baik, apapun targetnya, pasti dunia ini akan menunjukkan kegunaan dari benda-benda di sekeliling Anda, dari mulai informasi, fasilitas, orang-orang di sekeliling Anda, sampai ke koran atau majalah bekas.  Ajaib memang dunia ini!

Artinya, Anda tidak usah sedih tidak bisa meningkatkan kapasitas berperan karena tidak punya waktu atau tak punya duit untuk ikut training, seminar, atau melanjutkan kuliah. Kalau kita mau, dunia ini sudah menyediakan yang kita butuhkan untuk itu; memang akan lebih sempurna kalau kita lengkapi dengan kuliah atau ikut training.

Ketiga, harapan dan keyakinan. Ini terkait dengan sejauhmana kita meyakini adanya kepastian untuk berhasil dari apa yang kita lakukan. Untuk meningkatkan keyakinan itu perlu menghilangkan "I-wish-but-thinking-model" secara bertahap dan secara sadar. Maksudnya, harapan dan keyakinan itu perlu didasari usaha-usaha nyata.

Keempat, manajemen diri. Ini terkait dengan kemampuan kita dalam merumuskan target dan menjalankannya di lapangan. Inti dari berperan adalah bagaimana kita mengoptimalkan upaya pemberdayaan diri dan orang lain. Hal yang perlu kita hindari adalah terlalu rakus. Kenapa? Begitu kita sudah rakus, biasanya yang kita lakukan adalah mengejar kepentingan pribadi dengan cara memanipulasi orang lain atau keadaan.

Karena itu, walaupun niat kita untuk mengembangkan kapasitas berperan itu bagus, tetapi kalau caranya tidak bagus, bisa-bisa akan mendapatkan hambatan dari orang lain dan manajemen atau akan mengakibatkan kecelakaan. Buatlah rencana pengembangan diri yang benar-benar rasional dan tidak berpotensi menimbulkan konflik di kantor.

Kelima, ketaatan terhadap nilai-nilai organisasi dan pribadi. Kenapa ketaatan nilai menjadi penting? Yang kita butuhkan dan yang diinginkan perusahaan itu bukan sekedar kapasitas berperan. Dengan meningkatkan kapasitas berperan, memang akan membuat derajat karier kita naik. Tapi bila disertai dengan pengabaian terhadap nilai-nilai, ini akan membuat langkah kita suatu saat jatuh atau kecelakaan. Supaya naik terus dan selamat, perlu ada ketaatan nilai.

Nabi Muhammad bersabda: "Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberikan kontribusi positif kepada manusia"
(Ubaydillah)

Semoga bermanfaat

Kunjungi  hrd-practice.blogspot.co.id  untuk memperoleh informasi Ketenagakerjaan dan SDM lainnya.


0 comments:

Post a Comment